Bangsa Indonesia diminta mewaspadai munculnya informasi negatif dari luar negeri. Beberapa berita miring dilansir sejumlah media internasional bukanlah informasi biasa, melainkan sebuah ancaman serius. Seperti diberitakan koran Sindo, peringatan ini disampaikan sejumlah pengamat dan politisi. Pengamat pertahanan Wawan Purwanto misalnya menilai berita tentang pariwisata Bali maupun informasi WikiLeaks sebagai informasi tendensius dan politis dengan target untuk menimbulkan instabilitas politik di Indonesia.
"Berita-berita itu jelas politis sekali," kata Wawan dalam sebuah kesempatan.
Pengamat militer dari Universitas Indonesia Andi Widjajanto juga menilai, informasi negatif yang disebarkan media internasional sebagai bagian dari perang. Dia menyebut, sejak berakhirnya perang dingin model perang konvensional atau peperangan dengan menggunakan cara-cara militer sudah bergeser ke peperangan model baru. Model peperangan seperti ini biasa disebut sebagai perang asimetris (asymmetric warfare).
"Efek perang model baru seperti ini sangat luar biasa. Kerugiannya tidak sebatas fisik, tapi juga merusak sendi-sendi kehidupan bangsa yang lain," kata Andi saat dihubungi SINDO.
Menurut dia, perang asimetris merupakan suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim dan di luar aturan peperangan yang berlaku dengan spektrum perang yang sangat luas. Sekarang ini lini pertempuran sudah bergeser ke lini informasi.Bombardir informasi akan membentuk citra yang tertanam di kawasan lawan dan akan melemahkan posisi lawan.
"Teknologi informasi dan komunikasi semakin meningkat dan menduduki peranan utama dalam kehidupan sehari- hari. Karena itu, teknologi informasi telah menjadi sesuatu yang bernilai sekaligus dapat menjadi senjata perusak," ungkapnya.
Berdasarkan data yang dia himpun, Indonesia sebenarnya sudah lama dijadikan sasaran perang asimetris. Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Indonesia terus melakukan perang asimetris terhadap pendudukan Belanda hingga 1950, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), krisis Timor-Timur, Gerakan Pengacau Keamanan di Papua, dan lainnya. Dia menyebut, kehancuran Uni Soviet pascaperang dingin yang memuncak pada 1980-an terjadi tidak secara alamiah.
Negeri Beruang Merah itu kalah karena Amerika Serikat (AS) melancarkan perang asimetris. Andi Widjajanto menjelaskan, AS dan negara-negara Barat pandai memainkan strateginya dalam perang informasi yang lebih bersifat psychological warfare.
"Secara ideologi, kemunculan glasnost dan perestroika sudah berhasil menyerang ideologis komunis yang telah lama menjadi perekat kesatuan Soviet," katanya.
"Berita-berita itu jelas politis sekali," kata Wawan dalam sebuah kesempatan.
Pengamat militer dari Universitas Indonesia Andi Widjajanto juga menilai, informasi negatif yang disebarkan media internasional sebagai bagian dari perang. Dia menyebut, sejak berakhirnya perang dingin model perang konvensional atau peperangan dengan menggunakan cara-cara militer sudah bergeser ke peperangan model baru. Model peperangan seperti ini biasa disebut sebagai perang asimetris (asymmetric warfare).
"Efek perang model baru seperti ini sangat luar biasa. Kerugiannya tidak sebatas fisik, tapi juga merusak sendi-sendi kehidupan bangsa yang lain," kata Andi saat dihubungi SINDO.
Menurut dia, perang asimetris merupakan suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim dan di luar aturan peperangan yang berlaku dengan spektrum perang yang sangat luas. Sekarang ini lini pertempuran sudah bergeser ke lini informasi.Bombardir informasi akan membentuk citra yang tertanam di kawasan lawan dan akan melemahkan posisi lawan.
"Teknologi informasi dan komunikasi semakin meningkat dan menduduki peranan utama dalam kehidupan sehari- hari. Karena itu, teknologi informasi telah menjadi sesuatu yang bernilai sekaligus dapat menjadi senjata perusak," ungkapnya.
Berdasarkan data yang dia himpun, Indonesia sebenarnya sudah lama dijadikan sasaran perang asimetris. Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Indonesia terus melakukan perang asimetris terhadap pendudukan Belanda hingga 1950, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), krisis Timor-Timur, Gerakan Pengacau Keamanan di Papua, dan lainnya. Dia menyebut, kehancuran Uni Soviet pascaperang dingin yang memuncak pada 1980-an terjadi tidak secara alamiah.
Negeri Beruang Merah itu kalah karena Amerika Serikat (AS) melancarkan perang asimetris. Andi Widjajanto menjelaskan, AS dan negara-negara Barat pandai memainkan strateginya dalam perang informasi yang lebih bersifat psychological warfare.
"Secara ideologi, kemunculan glasnost dan perestroika sudah berhasil menyerang ideologis komunis yang telah lama menjadi perekat kesatuan Soviet," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar